DPR RI Abaikan Peranan TNI Duduki Kursi Pemerintahan – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 negara Indonesia semakin memasuki usia matang. Kabarnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menolak keras permintaan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan terkait pemilihan Tentara Negara Indonesia (TNI) di kursi pemerintahan.
Berdasarkan hukum dan norma undang – undang yang ditentukan sebelumnya, TNI yang masih aktif bertugas tidak diperkenankan untuk naik jabatan dalam instansi pemerintah.
Salah seorang petinggi partai PDI Perjuangan, Effendi Simbolon menyatakan kalau wacana tersebut bertolak belakang dengan terciptanya revolusi Indonesia yang melibatkan TNI dalam dunia politik, sosial dan budaya. Sebab fungsi utama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bertugas untuk melindungi nama baik negara dan menjunjung tinggi ideologi Pancasila.
Berdasarkan keterangan BBC, Luhut terlalu sering mengutarakan hasratnya agar TNI memiliki kesempatan untuk terlibat aktif dalam dunia politik dalam negeri. Sebelumnya Ia sempat menggerakkan massa untuk bersinergi terhadap kepentingan dwifungsi ABRI pada 2019 silam. Akan tetapi klaim tersebut ditolak mentah – mentah oleh petinggi DPR.
Beberapa waktu lalu, Luhut pun membangkitkan kembali upayanya untuk memuliakan nama besar TNI dalam ruang lingkup istana presiden dengan menduduki kursi kementerian.
“Saya sudah memikirkannya secara matang bahwa Undang – Undang Tentara Negara Indonesia (UU TNI) harus dilakukan perubahan. Sebab kondisi tersebut akan berdampak untuk masa depan suatu bangsa,” tegas Luhut.
“Sebetulnya perubahan UU TNI tak hanya memberikan dampak bagus terhadap pemerintahan, tapi juga kedamaian suatu negara. Mereka sangat layak untuk mengembang tugas yang lebih mulia,” tambahnya.
Bukan Gagasan Bagus Terhadap Negara
Di sisi lain, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti angkat bicara mengenai permintaan tersebut Android menyikapinya secara demokratis. Dimana peraihan jabatan yang lebih tinggi dalam kenegaraan harus berdasarkan keilmuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki uji kompetensi secara teknis yang memadai.
Terlebih peran tentara dalam dunia pemerintahan lebih menonjol di medan perang. Tentunya gagasan mereka untuk memajukan dan menetralkan suatu keadaan politik, ekonomi hingga budaya terbilang sangat sulit.
“Tak mudah menempatkan pilihan yang tepat terhadap posisi yang berbeda. Saya rasa peranan TNI masih tetap sama dalam membentuk pertahanan dan penyerangan terhadap garis keamanan negara,” seru Susanti.
“Penolakan terhadap pemilihan TNI dalam kabinet negara memang harus ditolak. Jika melihat masa Orde Baru, banyak peranan penting yang tergusur dan bahkan menyebabkan berbagai kasus kemanusiaan yang tak selayaknya terjadi,” imbuhnya.
Bagi Susanti, jika para perwira dan jenderal tentara masuk sebagai menteri maka proses pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara demokratis, melainkan lebih menggunakan sistem komando. Yang artinya suara rakyat sangat sulit didengar sebab mereka tidak punya daya untuk melawan ketidakadilan jika sewaktu – waktu terjadi.
Sangat jelas bahwa kondisi tersebut hanya akan menimbulkan kisruh politik yang berkepanjangan. Bisa jadi beberapa dari pihak lain berpotensi untuk memicu gerakan PKI baru dengan semboyan dan motif yang berbeda.
Tak Masuk Rencana Besar DPR
Lebih dari itu, Effendi Simbolon kembali menuturkan bahwa penempatan posisi TNI terhadap kursi kepemerintahan tidak masuk rencana utama DPR. Sekalipun harus mengacu dan merevisi UU TNI, namun upaya Luhut hanya akan menjadi sebuah wacana belaka.
Simbolon memiliki alasan yang sangat kuat bahwa gagasan tersebut terlalu menyimpang terhadap TAP MPR Nomor VI & VII Tahun 2000 terkait Pemisahan Penugasan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia.
“Sudah sangat jelas bahwa usulan tersebut tak masuk akal. Sekalipun mereka orang berkepentingan tinggi, namun mereka tidak tahu betul sejarah filosofi revolusi dan reformasi Indonesia,” ucap Simbolon.
“Saya pikir memposisikan perwira dan jenderal yang masih aktif di kursi kementerian akan merusak cita dan nama baik negara khususnya fungsi pokok politik dan sosial TNI. Jika itu terjadi maka negara berada dalam bahaya besar,” tandasnya.
Kemudian Simbolon menuturkan kalau fungsi dan tugas pokok TNI harus saling berkaitan dengan Polri supaya seluruh anggaran operasional yang ditentukan tidak kacau balau. Selebihnya TNI wajib dibebankan tugas khusus demi kepentingan bangsa selain bergerak di medan peran.
Seruan TNI dan Pemerintah
Dalam menanggapi kasus tersebut, mantan Panglima Besar TNI, Hadi Tjahjanto menyerukan bahwa rencana pemberdayaan perwira dan jenderal aktif bertujuan untuk mendapatkan tugas penting secara struktural. Hal itu bukan berarti TNI tidak layak untuk menduduki posisi kementerian, tapi memang sudah sewajarnya mereka ikut andil dalam mengadopsi berbagai masalah kenegaraan.
Menurutnya banyak perwira dan jenderal yang hingga kini masih belum mengembang tugas yang lebih mulia. Dimana hal itu berlandaskan beberapa hal, di antaranya;
Pertama, pembukaan sekolah khusus komando dan staf militer di berbagai titik masih belum terlaksana dengan baik.
Kedua, masa bakti anggota TNI ditentukan hingga usia 58 tahun. Sedangkan masa jabatan kepemerintahan kurang dari itu. Akibatnya masa depan perwira dan jenderal menjadi ancaman besar.
Ketiga, dwifungsi ABRI sejak jaman reformasi menjadi bukti bahwa semua lapisan TNI tidak dicantumkan ke dalam instansi sipil pemerintahan.
Di satu sisi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menegaskan kalau pemerintah masih belum menerima gagasan tersebut untuk kemajuan bersama. Akan tetapi wacana tersebut akan disosialisasikan ke dalam rapat paripurna untuk menghasilkan keputusan berdasarkan ketetapan UUD 1945.
Sebetulnya pemerintah telah merelokasi puluhan jabatan untuk menunjang masa depan anggota TNI. Akan tetapi jumlah tersebut berbanding terbalik dengan kuantitas perwira tinggi tahun ini. Maka dari itu pemerintah akan merubah UU TNI pasal 47 dengan tujuan mengijinkan prajurit menduduki kursi kementerian setelah bebas tugas dari keprajuritan.